Pagi itu, di depan teller bank Cendrawasih, Nino menunggu nomor antriannya dipanggil. Dia melirik secarik kertas di tangannya, Nomor 17. Kepalanya terangkat, melihat ke arah layar di pojok kanan atas ruangan. Sekarang masih nomor 12. Kondisi bank Cendrawasih memang agak ramai pagi itu. Ada bapak-bapak berkaos Polo, ada lelaki muda yang sedang membawa berkas-berkas di map plastik berwarna merah, ada sepasang kakek-nenek yang sedang membicarakan prosedur pengambilan uang pensiun, dan masih banyak lagi.
Nino menggoyangkan kakinya seraya menunggu. Hatinya
berdegup kencang. Ia gugup. Sebenarnya ada alasan mengapa Nino bisa segugup
itu. Tempo hari, dia memenangkan lotre dari perusahaan kopi sachet. 1 miliar
rupiah. 1 miliar rupiah yang ia menangkan hari itu. Dirinya kaget bukan main,
karena selama ini ia tidak pernah memenangkan apapun. Tiba-tiba memenangkan
lotre seperti itu membuatnya berpikir bahwa semua ini hanya mimpi di siang
bolong.
Pikirannya berkelana. Terpikir apa saja yang bisa ia
lakukan dengan 1 miliar itu. Hidup sederhana sejak lahir membuatnya bingung
ketika sekarang memiliki uang sebanyak itu. Banyak sekali hal yang bisa ia
lakukan. Ia bisa membuka usaha di bidang kuliner seperti yang selama ini ia
idam-idamkan. Ia bisa melanjutkan kuliah S2 agar lebih terpandang di mata orang.
Ia bisa membeli rumah dan mobil impiannya. Ia akhirnya bisa melamar Karina,
kekasihnya sejak masa kuliah. Ia bisa menaikkan haji kedua orang tuanya. Ia
bingung mana yang harus ia prioritaskan terlebih dahulu.
Tapi,
pikiran liar mulai memenuhi pikirannya. Apa ia harus terjun ke dunia politik?
Jika terjun ke dunia itu pasti bisa mendapat lebih banyak kan? Atau berjudi? Pasti
menyenangkan jika bisa mendapat berkali-kali lipat. Ia bisa mewujudkan semua
mimpinya sekaligus. Mungkinkah harus ia coba?
“Iya.
Om sudah buatkan kamu rekening, Sayang.,” lamunan Nino seketika buyar ketika ia
mendengar suara bapak berkaos polo di sebelahnya. Bapak itu sedang menelpon
seseorang, sepertinya urusannya dengan teller bank sudah selesai. Nino mencuri
dengar sedikit sebelum bapak itu pergi. “Tenang, istri Om tidak akan tahu.,”
kata bapak itu sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Nino terdiam.
Di
hadapannya, teller bank sedang melayani pria muda dengan berkas dengan map
merah tadi. “Universitas Harimau Sumatera, atas anam Putra Darmawan, biaya
semester ini tiga juta lima ratus ribu rupiah ya.,” kata teller bank. Suaranya
terdengar lumayan jelas karena ruangan sudah mulai agak sepi, dan Nino duduk di
depan. Lalu, setelah selesai dengan urusannya, pria muda itu mengeluarkan telepon
genggamnya. Menelpon seseorang juga seperti bapak berkaos polo tadi.
“Sudah
Putra urus, Ma. Jadi lima juta, ya. Kwitansi nya tadi hilang, Ma. Jatuh. Tapi
sudah terdaftar kok di website kampus.,” kata pria itu, seraya berlalu melewati
Nino. Nino kembali terdiam. Lalu, tiba giliran sepasang kakek-nenek yang tadi membicarakan
perihal prosedur pengambilan uang pensiun. “Tujuh ratus ribu rupiah ya, Pak.,”
kata teller bank menyerahkan uang pensiun kakek tersebut. Wajahnya sumringah. Mereka
berdua pun meninggalkan teller bank tersebut, lalu duduk di sebelah Nino.
“Laras,
akhirnya kita bisa makan di restoran favoritmu. Hutang-hutangku sudah lunas
bulan kemarin. Uang pensiunku bulan ini bisa untuk mentraktirmu makan disana
tanpa perlu khawatir uang kita habis.,” kata si kakek. “Tidak apa-apa kah?”
kata si nenek yang sepertinya istrinya. Si kakek menggenggam erat tangan nenek
itu, lalu tersenyum. “Iya.,” katanya. Mereka lalu berjalan beriringan
meninggalkan Nino.
Kemudian datang Karina, menghampiri Nino. Tersenyum
cerah, seperti penghangat di ruangan itu untuk Nino. Senyum yang sangat ia
sukai.
“Sayang, sudah selesai
giliranmu?” tanya Karina.
“Belum.,” jawab Nino.
“Baiklah aku akan menemanimu
disini.,” kata Karina.
Nino
menatap Karina dari samping. “Rin, aku ingin bertanya.,” katanya. “Iya?” Karina melirik Nino.
“Menurutmu
uang ini harus kuapakan dulu, ya?
Aku jadi bingung.,” tanya
Nino.
“Tentu
saja semua keputusan ada di tanganmu. Pendapatku masih sama seperti kemarin. Gunakan
untuk mewujudkan mimpi mu yang selama ini paling kamu inginkan, tapi jangan
semuanya sekaligus. Ingat, sisihkan untuk ditabung.,” kata Karina.
“Kalau
mewujudkan mimpiku, harus mengesampingkan dulu kebahagiaan kita bagaimana?”
tanya Nino.
“Hei,
apapun itu, aku selalu mendukung keputusanmu asalkan itu baik bagimu. Selama
ini kamu kan selalu hanya bisa memimpikan hal-hal yang kamu inginkan. Sekarang,
berkat Tuhan, kamu bisa mulai mewujudkannya. Aku justru sangat senang melihatu
menggapai mimpimu seperti ini. Pesanku hanya satu, ingat Tuhan. Ia-lah yang
Maha Memberi, tanpanya kamu takkan mendapatkan semua ini. Jadi jangan lupakan
Ia.,” kata Karina.
Nino tersenyum. Tekadnya sudah bulat. Ia akan menggunakan uang itu untuk menaikkan kedua orang tuanya naik haji bersama dirinya, membeli rumah sederhana, membuka usaha kuliner impiannya, lalu meminang Karina, sementara sisanya ia tabung untuk hari tua bersamanya. Pagi itu, di depan teller bank Cendrawasih, sesaat setelah ia menarik uang 1 miliar rupiah tersebut, Nino sujud syukur. Bersyukur telah diberi rejeki sebanyak itu, bersyukur telah dipertemukan Karina yang sebaik itu, dan berdoa agar uang tidak akan pernah mengubahnya, menjadi sosok yang gelap mata.
Comments
Post a Comment